
Pagi ini, sudah hampir pukul 01.00 dini hari, saya merasa ada sesuatu yang terganggu di pikiran ini, bukan karena kelelahan melihat fenomena drama politik, para aktor politik yang bertingkah sebagai “Leviathan” sebagaimana yang di gambarkan oleh pemikir klasikal realis, Thomas Hobbes, bahwa negara harus bertindak dengan kekuatan absolut-nya. Aktor politik harus ditakuti oleh rakyatnya sendiri dan itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga ketertiban dan kebahagiaan. Namun karena, cara menakuti rakyat yang sedang dalam keadaan lapar menjadi isu menarik untuk ditelusuri dalam praktik kebijakan politik yang sedang diterapkan dalam situasi pandemi (negara dalam keadaan darurat) di Timor-Leste.
Sampai detik ini, rasa terharu hadir bersamaan dengan rasa kantuk, dan goncangan marah masih hadir dalam benakku. Ketika mendengar pernyataan salah satu teman baik saya dari asosiasi disabilitas (Asosiasaun Halibur Defisiensia Matan-AHDMTL), saudara Gaspar Afonso yang secara terbuka menyampaikan pernyataan kritis di salah satu media nasional GMTV, ia mengkritik dua anggota parlemen yang telah menyampaikan penolakan isu yang terjadi dengan manuver reaksi eskeptis terhadap apa yang terjadi di Dili (Ibukota Timor-Leste) beberapa hari ini tentang salah satu anggota keluarga yang kelaparan. Karena keluarga tersbebut tidak memiliki uang, mereka menawarkan anak mereka sebagai jaminan kepada pemilik kontrakan karena mereka tidak mampu membayar uang sewa selama beberapa bulan.
Hampir satu setengah tahun di situasi negara darurat dan lockdown, seorang ayah yang bekerja di sektor informal, sebagai kuli mencoba mengadai anaknya untuk menyelamatkan nasib keluarga mereka selama beberapa hari kedepan. Kejadian ini sedang viral di salah satu TV nasional yang telah menarik perhatian banyak masyarakat Timor-Leste. Mereka secara mayoritas ber-empati dan mengutuk keadaan ini karena pemerintah gagal menjamin hak untuk hidup rakyatnya. Dengan keadaan lapar, tidak ada jaminan lapangan kerja terutama disektor informal yang sebagian besar dilanda oleh negara keadaan darurat dan lockdown. Di sisi lain, isu ini ditanggapi oleh beberapa politisi dan anggota parlemen dengan reaksi manuver politik yang sama sekali bersifat apatis dengan kondisi yang sedang terjadi ditengah masyarakat. Salah satu anggota parlemen secara terbuka menyatakan bahwa kasus ini sengaja dimunculkan, yakni sebagai aksi dari motivasi kepentingan politik untuk mengulinkan pemerintah.
Hal senada disampaikan oleh Presiden parlemen Timor-Leste, ia menambahkan bahwa sikap “gadai anak” dalam bahasa tetum Penor Oan merupakan “kejahatan serius dan harus segera diproses secara hukum”. Tentu saja, pernyataan parlemen ini memancing reaksi publik; Beberapa warga di media sosial terus mengutuk pernyataan seperti ini yang dianggap murahan dan retorika politik parlemen. Mengutip pernyataan Bung Gaspar Afonso, bahwa:
Anggota parlemen tidak punya hati, mereka bukan wakil rakyat yang ideal mewakili warga negara yang sedang menderita saat ini, mereka hanya memikirkan dan mengejar kepentingan sendiri dan keluarga daripada mencari solusi untuk rakyat mereka sendiri yang menderita
Memang benar, kata bung Gaspar, ia sendiri adalah seorang aktivis dari kalangan organisasi disabilitas Timor-Leste yang bisa merasakannya, walaupun beliau tidak dapat melihat, dia mampu merasakan bahwa diluar sana banyak warga Timor-Leste yang sedang menderita sekarang. Ia tampaknya dengan nada kritis meminta kepada anggota parlemen untuk tidak menggunakan kacamata kuda dengan sikap eskeptisme dengan melakukan penyangkalan atas apa yang terjadi di masyarakat saat ini.
Hal yang perlu kita tekankan disini adalah, dalam situasi pandemik seperti ini dengan kebijakan negara darurat dan lock-down, pemerintah seolah-olah bertindak berlebihan, melindungi diri dari segala sesuatu yang terjadi di masyarakat dengan persepsi lawan politik atau melabel semua informasi sebagai sebagai hoak atau aksi anti staus-quo, memandang masyarakat dengan bayang-bayang kacamata mata kuda. Para politisi sangat berusaha untuk bersikap skeptis dan juga terlihat sedang menggunakan konsep “Leviathan” untuk mempertahankan dan melegitimasi kebijakan politik, membuat masyarakat takut dan mengikuti aturan dan regulasi dalam bayang-bayang negara darurat (state emergency) yang telah dilaksanakan sejak Maret 2020 hingga sekarang, dengan alasan kepentingan kesehatan publik untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19. Dengan demikian, pada kenyataannya masyarakat menderita, karena kegiatan perekonomian yang macet, terutama sektor informal yang tidak berjalan, tentunya keadaan ini membuat masyarakat menghadapi dampak negatif secara ganda.
Sebagai warga negara yang menghormati keragaman opini politik di negara demokrasi kecil ini, saya merasa sangat prihatin. Pasalnya, para elit politik yang mewakili warganya cukup berani untuk berargumen bahwa semua fenomena sosial yang terjadi di luar sana tampaknya seperti informasi yang diditorsi oleh kelompok kepentingan, seolah-olah masyarakat sedang membuat drama, masyarakat tersebut berbohong dan berusaha memanipulasi semua fakta yang ada.
Dengan rasa malu, marah dan pesimis tentang arah kebijakan pemerintah sekarang, mungkin sudah saatnya kita sebagai rakyat jelata harus mulai berpikir untuk melakukan transformasi baru, transformasi pola pikir kita, memunculkan revolusi kolektif melawan model aristokrasi ini, model egoisme yang memikirikan kepentingan sendiri dengan model pelayanan masyarakt arogan, aksi aktor politik yang bergaya otoriter dalam masyarakat demokratis yang penuh dengan kekuasaan dan pandangan kaca mata buta, masyarakat yang menghormati martabat manusia dan empati satu sama lain, rakyat Maubere harus bangkit melawan semua bentuk kemunafikan politik yang mendiskreditkan martabat manusia di muka bumi ini.
Celso Fonseca, Palapaso, 19/5/2021